Senin, 04 Mei 2009

Desa Candirejo: Sebuah pengalaman orisinal



Pertama kali mendengar soal Desa Candirejo ini dari seorang member Jalansutra asal Jogja, Pak Fachruddin, yang bahkan ketemu muka pun belum. Tapi saya percaya pada keterangan dan rekomendasinya. Itulah hebatnya JS. Integritas JS terbawa sampai ke membernya. Setelah japri-japrian beberapa kali, ditambah dengan beberapa foto, akhirnya saya putuskan untuk menginap di desa ini selama dua malam di akhir Juni 2007 lalu. Pertimbangan utamanya adalah suasana desa. Saya kangen dengan hawa desa. Pertimbangan lainnya adalah dekat dengan Borobudur, dan dekat pula ke Muntilan, serta Jogja.

Faktor yang terakhir ini belakangan saya sesali karena ternyata Jogja sama sekali tidak dekat. Jogja sekarang Never Ending Traffic Jam. Deretan beberapa persimpangan dengan lampu lalu lintas, jeda waktu lampu hijau yang hanya beberapa detik, serta volume kendaraan yang luar biasa besar menyebabkan kemacetan di mana-mana. Masuk dan keluar dari Jogja makan waktu lebih dari satu jam ke/dari Candirejo. Jogja sudah banyak sekali berubah. Terakhir saya ke Jogja itu tahun 1996 atau 1997. Eh, capek deh, udah segitu lama gak jalan-jalan!

Desa Candirejo terletak sekitar 3 km dari Borobudur. Jalan masuknya sekitar 200-an meter dari Pondok Tingal. Tak jauh dari Pondok Tingal itu ada toko Rani Jaya dan gereja Katolik Santo Petrus. Di antara kedua bangunan itu ada jalan masuk beraspal mulus yang cukup untuk 2 mobil berpapasan. Nah, itu jalan ke Desa Candirejo. Susuri saja jalan itu. Ketemu pertigaan besar, ke kiri ke Desa Wanurejo, ke kanan tujuan kita. Dengan mobil kira-kira 7-8 menit saja, utamanya karena tidak mungkin ngebut. Jauh-jauh dari Jakarta masak serba tergesa-gesa di sini? Padahal, surprisingly, jalanan aspalnya mulus. Dan tidak ada polisi tidur. Betul-betul mengasumsikan setiap pengguna jalan untuk tahu diri.

Jadi yang kami lakukan waktu tiba di jalan ini adalah membuka jendela mobil lebar-lebar dan membiarkan udara sore yang nyaris tidak tercemar masuk merasuki paru-paru. Di sepanjang jalan kami ketemu petani bertopi caping, sepeda yang dimuati kacang-kacangan, delman kosong, anak-anak yang balapan naik sepeda, anak-anak berseragam SMP yang duduk bergerombol di seberang sekolah, dan pegawai berbaju batik yang tersenyum ramah. Setelah beberapa kilometer, kami temukan plang Kantor Kepala Desa Candirejo. Belok kanan di situ, masuk lagi 200-300 meter, belok kanan lagi, sampailah kami di rumah pak carik desa. Nama aslinya Sareh Heryanto. Di rumah dialah kami menginap.

Rumahnya sendiri sudah cukup modern. Bukan model rumah yang beratapkan rendah dan berlantai tanah. Rumahnya agak tinggi, dengan empat tiang sokoguru yang menyokong atap rumah, typical rumah Jawa-lah. Lantainya dari teraso. Salah satu sisinya dibagi dalam tiga kamar, dua untuk kamar tidur, satu kamar lagi untuk tempat sholat. Satu kamar lagi di sisi dinding yang lain. Tiga-tiganya kami gunakan. Ukurannya antara 2,5x3 meter sampai 3x3 meter yang paling luas. Tempat tidurnya dari kapuk. Agak usang. Tapi saya sama sekali tidak keberatan. Lampu penerangan agak redup. Sedikit kepayahan membaca di bawah sinar lampu sesuram itu. Tapi pointnya bukan itu. Tujuan utama ke sini adalah mendapatkan pengalaman hidup yang baru.

Begitu tiba di lingkungan itu saya mencium bau kayu bakar. Nah, sudah puluhan tahun nih, gak mencium bau khas semacam ini, yang dulu hanya bisa saya temukan di rumah nenek di Sukaraja, Purwokerto. Bau yang bikin kangen. Ndeso banget, gitu loh. Namun mampu membawa saya terhanyut ke masa lalu. Selain bau-bauan, yang juga merangsang panca indera adalah suara sapu lidi yang disapukan ke atas tanah dan kerikil. Suara itu bukan satu tapi banyak, mengisi sore-sore temaram dengan matahari yang sudah hampir surut. Di kiri kanan rumah ada suara ayam berkokok, embek kambing, dan tekukur. Pernah denger tidak suara tekukur di suatu siang yang panas, dari dalam rumah yang gelap, agak lembab, dan bau dinding yang dicat dari kapur? Fragmen-fragmen itulah yang melintas di kepala saya kala sendirian di kamar.

Desa Candirejo sudah sejak tahun 2003 menerima tamu-tamu, baik wisatawan domestik maupun turis. Dulunya merupakan desa binaan. Sekarang sudah mandiri. Berbagai nama tertulis di buku tamu. Ada yang menginap satu hari, dua hari, dua pekan, bahkan berbulan-bulan. Saya juga temukan nama Esther Mulyanie, member JS yang juga wartawan SCTV. Halo Esther! Kayaknya hampir semua stasiun TV pernah meliput desa ini. Beberapa nama orang asing juga ada di buku tamu itu. Bisa bertahan selama ini dengan reputasi baik, menurut saya, sudah merupakan prestasi tersendiri.

Untuk anak-anak saya, bertemu orang-orang baru dengan pendekatan desa, yang berbeda dengan kota besar, merupakan pengalaman tersendiri. Dari sinilah kita menyaksikan bagaimana keterampilan sosial dan emosinya keluar, digunakan untuk berinteraksi dengan masyarakat sekitar. Buat mereka ini juga sebuah sesi pendidikan, bahwa dunia bukan hanya mall, suasana kota besar, dan orang-orang kaya hilir mudik.

Saya terbangun esok paginya, pukul 04.30 dengan suara kokok ayam. Sepagi ini kalau di perumahan saya di Bogor sudah terdengar debam suara koran pagi dilempar sang loper bermotor yang tergesa-gesa, sesaat kemudian tukang roti pertama akan lewat. Mendekati jam 05.30 biasanya sudah ada tukang bubur ayam dengan suara denting piring yang memekakkan telinga, ting-ting-ting, memanggil pelanggan di depan pagar rumah. Di sini? Hanya ketenangan. Hening. Diam. Hanya suara gesekan sendal. Derit pintu yang dibuka-tutup. Panci yang dibuka. Dan mendekati pukul 06.00 terdengar suara orang menggoreng sarapan untuk makan pagi kami.

Menurut Pak Heryanto, di sini suasananya tenang karena orang-orangnya tidak materialistik. Uang dalam jumlah yang sedikit pun sangat berharga. Setengahnya, ia menyesali bagaimana pedagang-pedagang di sekitar Borobudur dan jumlah uang yang beredar telah merusak ketenangan sosial dan alam yang dijalani penduduk selama ini. Kebanyakan penduduk desa ini bekerja sebagai petani palawija, yakni kacang-kacangan, cabe merah, jagung, dan sebagainya. Jumlah air tidak cukup banyak untuk mengolah tanah menjadi sawah. Dulu selalu ada kekeringan di desa ini. Tetapi setelah ada bantuan PAM dari gubernur, kekeringan tidak ada lagi, kecuali di daerah puncak bukit. Namun harga cabe merah saat ini sedang jelek-jeleknya, hanya Rp 5.000/kg. Akibatnya, sudah banyak petani yang patah hati dan membiarkan tanaman cabe merahnya mati. Kondisinya cukup sulit dewasa ini.

Partai yang menang di sini adalah PDI Perjuangan, kata sopir delman yang saya sewa. Di sejumlah rumah yang saya lewati, foto Megawati dan Hasyim Muzadi masih menghiasi jendela rumah. Tapi saya kira mereka tak tahu apa-apa soal politik. Sang sopir delman malah terheran-heran ketika saya beritahu presidennya sudah ganti.

"Lho, memangnya siapa presidennya sekarang, mas?"
"SBY, pak. Susilo Bambang Yudhoyono."
"Saya pikir masih Ibu Mega."

Dia terdiam sesaat, lalu bercerita susahnya cari makan dewasa ini. Saya penumpang pertamanya sejak pagi. Ia mencari kayu bakar untuk memasak di rumah, serta rumput untuk makan kudanya. Dapat Rp 15.000 dari saya siang itu kemungkinan besar akan jadi satu-satunya pemasukan, dan akan dirayakan dengan girang hati di rumahnya. Saya terdiam. Saya bukan SBY. Bukan pula Megawati. Di sisi kiri-kanan jalan warna merah, kuning, dan hijau sudah bukan lagi mewakili warna partai, tapi spanduk-spanduk kartu telepon selular. Hampir di setiap tikungan jalan dan pertigaan ada papan promo, berikut keterangan harga vocuher.

Buat Sareh Heryanto dan keluarga, tempat kami menginap, mereka banyak tertolong dengan kunjungan turis. Misalnya saja ongkos tidur kami, untuk 3 kamar per malam adalah Rp 200.000. Untuk dua malam kami menghabiskan Rp 400.000. Cukup mahal memang bila dibandingkan dengan sewa losmen di kawasan Malioboro, Jogja. Di dekat Hotel Peti Mas di Jalan Dagen Jogja misalnya, ada losmen yang menawarkan Rp 60.000/kamar/malam dengan kamar mandi dalam. Tetapi, agak kurang fair membandingkan dengan harga hotel. Apa yang ditawarkan di sini adalah suasana pedesaan yang orisinal dan apa adanya, yang tidak bisa tergantikan dengan acara jalan-jalan dan belanja di kaki lima Malioboro. Mereka juga menyediakan sarapan serta air panas untuk mandi tanpa banyak perhitungan. Ketika kami pulang, mereka mengoleh-olehi seplastik cabe rawit merah untuk keperluan makanan dan bibit tanaman.

Lebih dari itu, menurut saya, ini adalah sebuah kesempatan baik untuk berbagi. Kalau punya waktu dan sedikit uang, pergilah ke desa ini. Berbagilah kebahagiaan kota besar dengan petani-petani yang tercekik harga komoditi murah. Berilah senyum untuk istri-istri dan anak-anak sopir delman dengan uang yang setara dengan setengah porsi makan di mall. Atau setara dengan 7 kali parkir mobil. *

Koperasi Desa Wisata Candirejo
Sangen, Candirejo, Borobudur, Magelang
Central Java - Indonesia 56553
Telp. (0293) 788608
Mobile 08175414855 (contact: Ian), 081328808520 (contact: Tatag)

Sareh Heryanto
Carik Desa
0817262206 (dengan Antok, anaknya)

Keterangan mendasar perihal Desa Candirejo, bisa diklik di sini:
http://www.central-java-tourism.com/desa-wisata/en/candirejo.htm

0 Comments:

Post a Comment